SURABAYA – Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI) telah mengumumkan pembatalan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang meningkat menjadi 11 persen untuk emas batangan dan granula. Terkait kebijakan tersebut, ada peran Pusat Kajian Kebijakan Publik Bisnis dan Industri (PKKPBI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dalam mengupayakan pembatalan PPN 11 persen tersebut melalui analisis yang telah dilakukan.
Kepala PKKPBI ITS Dr Ir Arman Hakim Nasution MEng menyampaikan, peran ITS dalam pembatalan PPN untuk emas ini dilakukan dengan analisis dampak PPN terhadap nilai industri emas serta mempresentasikan hasil kajian tersebut di hadapan Kemenkeu RI. Analisis dampak PPN dilakukan dengan memperhatikan visibilitas dari Bullion Bank. Yakni bank yang bertanggung jawab untuk melakukan transaksi logam mulia, termasuk emas dan perak.
Arman berkomentar bahwa beberapa pihak seperti beberapa industri pengrajin emas, Asosiasi Pengusaha Emas Perhiasan Indonesia (APEPI), dan lain sebagainya tidak memungut PPN 10 persen kepada semua produknya. “Produk yang dipungut PPN 10 persen hanyalah emas batang dari produksi PT Aneka Tambang Tbk (Antam), ” ucapnya.
Lebih lanjut, dosen Departemen Manajemen Bisnis ITS tersebut menjelaskan, karena adanya PPN 10 persen tersebut sehingga mayoritas industri perhiasaan emas mengimpor barang produksinya dari Singapura. Hal ini disebabkan pajak impor pembelian emas batang hanyalah 2 persen. Sedangkan apabila beli dari Antam sendiri dikenakan pajak 10 persen. “Ini menjadi hal yang aneh ketika produk dalam negeri menjadi lebih mahal dibandingkan impor, ” ujarnya.
Lelaki kelahiran Muna, Sulawesi Tenggara tersebut membeberkan, kapasitas ekspor emas di Indonesia saat ini hanya berkisar 54 – 60 persen dari total produksi. Sehingga, harga emas di Indonesia akan jatuh lebih mahal jika ditambahkan lagi dengan PPN sebesar 11 persen tersebut.
Kementerian Keuangan RI akhirnya membatalkan PPN 11 persen untuk emas batangan dan granula
Akibatnya, berlakunya PPN 11 persen menuai protes dari mayoritas pelaku industri emas di Indonesia, khususnya melalui APEPI. Mereka protes dengan alasan bahwa APEPI merupakan industri hulu. Selain itu, mereka mengungkapkan bahwa industri pengrajin emas di Indonesia 30 persennya merupakan UKM. Bahkan, APEPI yang mewadahi pengusaha besar emas, 30 persen dari produksinya melibatkan tenaga kerja bukan mesin tetapi keahlian pengrajin.
Berdasarkan analisis tersebut, asisten profesor ITS tersebut menyimpulkan bahwa kenaikan PPN 11 persen tersebut dinilai tidak efektif untuk industri hulu maupun usaha kecil menengah (UKM). Ia menambahkan bahwa PKKPBI ITS telah melakukan simulasi dinamik mengenai dampak kenaikan PPN 11 persen terhadap penjualan emas. “Hasil simulasi kami mengindikasikan akan adanya penurunan omzet penjualan emas, pemotongan tenaga kerja, penurunan impor emas, dan berbagai dampak lainnya, ” ungkapnya.
Tak hanya emas, Arman menerangkan bahwa pengrajin perak akan juga terdampak oleh PPN 11 persen tersebut. Dikarenakan, pengrajin perak yang ada di desa-desa membutuhkan emas sebagai bahan campuran perak dalam pembuatan produksi mereka seperti cincin, kalung, dan lain sebagainya.
Analisis kajian tersebut akhirnya dipresentasikan di Kemenkeu RI melalui Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Usaha Badan Usaha Milik Negara, Riset, dan Inovasi. Akhirnya, dihasilkan respon kebijakan bahwa emas menjadi salah satu produk strategis yang batal terkena PPN 11 persen. Hal ini menunjukkan peran ITS mampu mewadahi aspirasi dari masyarakat melalui keluhan-keluhan pengusaha dan pengrajin emas mengenai dampak PPN 11 persen terhadap industri emas ini.
Terakhir, Arman berharap dengan adanya kenaikan harga emas saat ini, maka seharusnya kegiatan ekspor emas di Indonesia dapat bersaing kuat dengan negara lain. Selain itu ia juga berharap APEPI bisa menggenjot pasar ekspor ke luar negeri, sehingga bisa mengkompensasi pendapatan PPN 11 persen yang telah hilang menjadi pajak penjualan yang lain. (HUMAS ITS)
Reporter: Bima Surya Samudra