SURABAYA - Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR) Febby Risti Widjayanto SIP MSc memberikan tanggapan terkait rencana Elon Musk yang bakal mengakuisisi Twitter. Menurutnya, rencana tersebut bukan hal yang mengejutkan.
Sebagai orang terkaya di dunia dengan latar belakang teknik, melirik media sosial populer seperti Twitter barangkali sejalan dengan misi Elon. Selama ini ia dikenal sebagai insinyur yang sukses mengejawantahkan ide-idenya melalui pengembangan teknologi, seperti Tesla, SpaceX, dan Neuralink.
“Sebagaimana tiga perusahaan yang ia jalankan, Elon memiliki visi besar untuk mewujudkan solusi bagi masalah-masalah kemanusiaan dan lingkungan. Ia sendiri pula yang mengarsiteki produk teknologi yang dijalankannya. Sehingga, mengakuisisi Twitter tidak jauh berbeda dengan misinya meluncurkan produk-produk sebelumnya yang ditujukan untuk mengatasi masalah sosial dan lingkungan, namun kali ini misinya berhubungan dengan kebebasan berpendapat, ” ujar Febby, Rabu (18/5/2022).
Belum Cukup Jelas
Meski demikian, dosen Ilmu Politik itu menuturkan bahwa maksud pembelian Twitter oleh Elon belum cukup jelas.
“Tidak bisa dipastikan (akuisisi Twitter oleh Elon, Red) apakah betul-betul berkontribusi pada kebebasan berpendapat seperti yang selama ini dia katakan karena arti dari kebebasan berpendapat sendiri memiliki penafsiran yang beragam, ” ucap pengampu mata kuliah Ekonomi Politik dan Politik Digital itu.
Untuk itu, Febby tidak yakin akuisisi Twitter oleh Elon akan memberikan dampak positif bagi ekosistem Twitter.
“Saya tidak yakin karena sejak isu Elon Musk akuisisi Twitter berhembus, sebagian tim yang bekerja di Twitter justru merasa cukup bimbang karena selama ini mereka berusaha sekuat tenaga untuk menjaga sistem moderasi di Twitter, ” jelasnya.
Belajar dari pengalaman sebelumnya, kata Febby, Twitter memiliki sisi gelap tersendiri, terutama pada momen politik tertentu. Hal itu menimbulkan ketegangan sosial sehingga mengubah Twitter menjadi ruang yang penuh dengan cacian, pelecehan, kabar bohong, dan kekerasan.
Bisa Dominasi Twitter
Baca juga:
STTAL Ciptakan Prototipe Drone Dua Media
|
Kemudian, Febby mengatakan bahwa dampak positif dari akuisisi itu dapat dirasakan jika Twitter menjadi ruang sehat bagi dialog publik sehingga tercipta iklim demokrasi. Namun, hal itu akan sulit karena perusahaan teknologi selalu terikat dengan misi pemiliknya yang dalam banyak hal juga tidak selalu sejalan dengan demokrasi.
“Elon bisa saja beropini bahwa kebebasan berpendapat absolut itulah prasyarat demokrasi. Namun perlu diperhatikan jika absolutisme dalam kebebasan berpendapat juga bisa menjadi kontraproduktif terhadap demokrasi itu sendiri, ” ucap Febby.
“Maksudnya adalah seandainya Bos Tesla itu sudah sah menjadi pemegang saham mayoritas Twitter, maka ialah yang menguasai teknologi melalui penciptaan dan kontrol algoritma platform media sosial tersebut, ” tambahnya.
Febby berpendapat, pemilik saham mayoritas bisa saja menggunakan pengaruh kuatnya untuk mendominasi ruang digital dan menjadikannya sebagai tempat yang menampung segala pendapat. Termasuk di dalamnya pendapat yang mengandung unsur kebencian dan kekerasan. “Artinya, moderasi konten bisa saja dihentikan karena kebijakan manajemen baru perusahaan, ” lanjut Febby.
Mengenai rencana pengenaan tarif atau biaya yang dibebankan pada pengguna Twitter mulai dari lembaga pemerintah dan perusahaan komersial, Febby berpendapat Elon tidak hanya akan menjadi arsitek bagi perusahaan teknologinya, tetapi memiliki rencana bisnis dan komersialisasi yang akan menjadi prioritas. Sehingga, valuasi dari perusahaan yang ia pimpin akan melejit.
“Ini alamiah. Tapi jangan sampai rencana ekspansi bisnis itu justru malah memanfaatkan hal-hal yang kita ingin hindari seperti memonetisasi cacian, penistaan, dan kabar bohong untuk keuntungan perusahaan. Inilah yang ingin kita jaga bersama dan masyarakat sebagai pengguna memiliki pilihan untuk tetap menggunakan teknologi tersebut atau justru meninggalkannya, ” tukasnya.
Sebagai informasi sekaligus klarifikasi fakta, Elon Musk saat ini masih menangguhkan proses pembelian Twitter karena berbagai pertimbangan, salah satunya memastikan jumlah akun bot di Twitter. (*)