KOTA MALANG - Dua dosen Universitas Brawijaya (UB) menjadi narasumber dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Selasa (1/3/2022). Mereka adalah Ketua Departemen Ilmu Komunikasi UB Rachmat Kriyantono, S.Sos., M.Si., Ph.D dan Dosen Ilmu Hukum Fachrizal Afandi, S.Psi., S.H., M.H., Ph.D.
FGD yang mengangkat problematik UU ITE dan persoalan Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) ini digelar secara daring dan luring. Para narasumber menyampaikan materi secara luring di Hotel Ijen Nirwana Kota Malang, sedangkan para peserta mengikuti secara daring. Peserta berjumlah 200 orang dan berasal dari berbagai wilayah di Indonesia.
Rachmat menyampaikan, manusia tidak bisa lepas dari SARA karena merupakan kodrati dari Tuhan, yakni given bukan choice. Kita tidak bisa memilih untuk menjadi orang Jawa, misalnya. Bahkan agama pun diwarisi dari orang tua. Namun, isu SARA menjadi isu yang sering memunculkan konflik sekarang ini. SARA menjadi bungkus fitnah, mengolok-ngolok, ujaran kebencian, dan hoaks. Semua itu makin intensif di era media sosial.
“Seorang politikus, misalnya, mengkritik kebijakan pemindahan ibu kota tidak menggunakan rasionalitas data, tetapi, mengolok-ngolok orang dan menghina suatu komunitas suku dan ras tertentu. Ini semua karena karakter medsos yang borderless, tanpa batas geografis dan ideologi. Medsos juga membuat ekstensi dunia nyata ke dunia maya. Di dunia nyata, misalnya, kita melakukan ghibah atau menyebarkan gosip melalui word of mouth dengan jumlah orang terbatas. Tapi, dengan medsos, gosip atau ghibah bisa cepat viral dan melibatkan banyak orang. Medsos membuat hilang sifat ewuh pakewuh karena tidak bertemu langsung dalam interaksi, ” papar dosen lulusan Edith Cowan University Western Australia ini.
Rachmat berpesan agar berhati-hati, karena perilaku bermedia sosial sudah diatur dalam UU ITE dan sudah berelasi dengan KUHP. Inilah implikasi dari ekstensi dunia nyata ke dunia maya. Pengaturan ini untuk melindungi hak komunikasi individu dari gangguan hak komunikasi individu lainnya.
Sementara itu Fachrizal menuturkan, masyarakat perlu mengetahui pedoman implementasi UU ITE dalam menjalankan pergaulan di dunia maya. Selain itu juga perlu memperkuat pengaturan dalam SKB dalam revisi UU ITE atau mengintegrasikannya dalam RKUHP.
“Perlu adanya penyesuaian rumusan pasal 14 dan 15 UU 1/1946 dengan mempertegas definisi berita bohong, unsur kesengajaan dan ukuran keonaran secara nyata. Definisi mengganggu ketertiban umum dalam kasus konkrit secara hukum ditentukan oleh Kejaksaan dan bisa diuji di pengadilan, ” ujar alumni Leiden University, Belanda ini, Kamis (3/3/2022).
Selain dua dosen UB, hadir pula sebagai narasumber yakni Staf Ahli Menkominfo bidang hukum, Prof. Henri Subiakto. Ia menyampaikan, pelaku komunikasi sudah tidak terbatas sehingga banyak terjadi konflik, untuk itu perlu berpegang pada etika agar terhindar dari pelanggaran hukum. (RK/Irene/Jon)
Baca juga:
Catatan Akhir Tahun KPK Menyongsong 2022
|