SURABAYA - Terbunuhnya Shireen Abu Akleh, seorang jurnalis senior Al Jazeera, menjadi perbincangan yang cukup menuai kontroversi di media sosial. Abu Akleh tertembak ketika sedang menjalankan tugasnya sebagai jurnalis di daerah konflik antara Israel dan Palestina.
Hal tersebut jelas merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan hak publik untuk mendapatkan informasi. Itulah yang disampaikan oleh Muttaqien SIP MA PhD, ahli studi Timur Tengah Universitas Airlangga, Selasa (17/5/2022).
Baca juga:
Satgas PEN Polri Lakukan Pengawasan di Jatim
|
“Di antara Hak Asasi Manusia yang harus dijunjung tinggi itu kan kebebasan berpendapat, kebebasan menyampaikan pikiran, maupun kebebasan mendapatkan informasi.” jelasnya.
Ia juga mengatakan bahwa, dalam melaksanakan tugasnya, seorang jurnalis mendapatkan perlindungan dari sisi hukum, termasuk hukum internasional. Terlebih bagi Shireen Abu Akleh yang bertugas di wilayah konflik.
Menurutnya, di wilayah konflik dan perang seperti itu ada perlindungan hukum bagi kalangan jurnalis yang diatur dalam konvensi internasional.
“Misalnya konvensi Den Haag tahun 1907, konvensi Jenewa tahun 1949, termasuk juga Statuta Roma yang berkaitan dengan hukum-hukum internasional tentang perang dan humanitarian law. (Peristiwa) ini satu pelanggaran hukum internasional, ” ujarnya.
Terdapat dugaan keras bahwa Shireen dibunuh oleh pihak Israel. Muttaqien berpendapat bahwa serangan ini merupakan usaha untuk menutupi track record kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel.
“Dalam perang, ada hukum-hukum yang harus dipatuhi. Ketika tidak ada wartawan yang mereportase tentang peristiwa perang, dari mana publik akan tahu (apabila terjadi pelanggaran)? Jadi sebenarnya wartawan juga menjalankan fungsi kontrol, ” jelas alumnus Flinders University itu.
Muttaqien juga mengatakan bahwa dampak dari peristiwa penembakan ini adalah semakin buruknya citra Israel di mata publik. Perlindungan terhadap jurnalis juga akan lebih ditekankan pasca peristiwa ini.
“Harus menjadi kesadaran aktor-aktor internasional bahwa wartawan itu non kombatan. Mereka itu masyarakat sipil yang punya tugas untuk mereportase peristiwa yang terjadi di medan konflik, ” jelas dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga itu.
Negara yang melanggar aturan perang, lanjut Muttaqien, dapat disanksi apabila melakukan pelanggaran dengan catatan bahwa negara tersebut meratifikasi aturan terkait.
“Israel menolak (tuduhan) mereka melakukan (penembakan) itu. Bahkan kemudian menuduh pejuang Palestina yang melakukan itu. Kenapa? Karena tahu konsekuensi dari tindakan menembak wartawan. Itu bisa dibawa ke International Criminal Court. Itu pelanggaran terhadap hukum humaniter.” jelas Muttaqien.
Ahli studi terorisme ini juga menjelaskan bahwa kejadian penembakan jurnalis seperti yang dialami oleh Shireen Abu Akleh ini memiliki potensi yang tinggi untuk terjadi lagi. Hal ini disebabkan oleh situasi konflik itu sendiri yang tidak bisa diprediksi, dan medan perang merupakan wilayah high risk bagi wartawan, tenaga medis, maupun masyarakat sipil pada umumnya.
“Tentu yang perlu ditekankan di sini kan bagaimana penegakan hukum internasional yang lebih tegas dalam masalah ini. Ketika tidak ada penegakan hukum yang jelas dan tegas, case-case semacam ini akan terjadi terus.” terangnya.
“Apa yang terjadi di Palestina saat ini adalah bukti kesekian kalinya pelanggaran yang dilakukan Israel terhadap hukum internasional, ” pungkas Muttaqien. (*)